Alhamdulillah diberi kesempatan untuk menjejakkan kaki di Surabaya, ya lumayan, meskipun gak sampe 48 jam disana tapi minimal sudah menjejakkan kaki di tempat yang belum pernah di jadikan tujuan travelling saya pas ada waktu luang dan juga uang luang. Hehe. . Sebagai mahasiswa yang melanjutkan studi di Bandung, aroma jejak-jejak persahabatan Viking-Bonek pun seakan sudah terasa sejak di atas kereta Sri Tanjung (#forinfo: lumayan, dari Jogja hanya dipatok harga 30an ribu, waktu tempuh sekitar 6 jam-an). Banyolan ala arek-arek Jawa Timur-an pun terasa sangat kental sejak melewati Stasiun Madiun, ditambah tempat duduk berhadapan dengan bapak-bapak asal Jombang menjadikan satu pengalaman berharga, bahwa Jawa Tengah dan Jawa Timur mempunyai bahasa yang cukup berbeda meskipun satu suku Jawa, tak lupa jejak-jejak Jawa Timur tak lengkap tanpa terpikir satu ciri khas Jawa Timuran, apalagi kalau bukan Sagitaaaaaaa. Hehe . .
Pada tulisan kali ini, saja tidak akan membicarakan masalah Jawa Timur (tunggu saja tulisan berikutnya. hehe). Tapi kali ini saya akan sedikit meng-share mengenai artikel yang secara tidak sengaja saya baca ketika di Surabaya. Bahasannya cukup menarik, mengenai kuota dari sekolah/instansi bagi pendatang (sebut saja penduduk yang berasal dari non-Surabaya misal) yang terkadang terhambat dengan kuota 1%, sebuah dilema tersendiri memang, tapi itulah fakta yang ada pada pendidikan saat ini dan pasti terjadi di hampir seluruh sekolah yang ada di negeri kita ini. Artikel ini saya ambil dari Jawa Pos, pada Rabu, 13 Juni 2012, tulisan ditulis oleh Kacung Marijan, seorang staf ahli Mendikbud dan guru besar Universitas Airlangga.

Bagaimanakah pendapat teman-teman sekalian? Adakah yang mempunyai opini yang berbeda? Monggo!! 🙂
Tak lupa saya ucapkan terima kasih untuk saudara Muazzam Nugroho (you can follow him @alakazzamm) yang telah menjadi fotografer. You rock man!! 🙂