Mengintim-i kopi buat saya pribadi gak cuma masalah nyruput kopi. Jauh dari itu, kopi adalah sarana bercerita, berbicara hingga curhat dalam level yang gak akan pernah ada baku-nya. Itulah sebabnya, mengapa saya lebih suka konsep kedai kopi ketimbang kafe. Karena jenis yang satu ini, banyak sekali hal yang dapat dilakukan. Mulai dari ngobrolin kopi, tugas akhir, galau tesis-disertasi, atau curhat karena masalah hati yang tak kunjung di tempati juga bisa ditemui. (*sensor)

Setelah numpang segelas Ethiopia di Two Hands Full Coffee, saya lajukan kendaraan ke arah Jalan Kanayakan Bawah, Dago. Sempet clingukan ngalor ngidul takut ini kedai kopi udah tutup, akhirnya nemu juga. Agak masuk dari jalan gede sih ya, tepat di depan asrama putri ITB. Jangan sampai salah masuk!
Konsep kedai kopi ini buat saya unik, berawal dari kontainer bekas yang sudah di design sedemikian rupa, dilapisi warna putih total buat mata jadi seger. Ditambah, suara gemercik air dari sungai dekat kedai kopi ini mengalirkan suasanya sepi, ketenangan dan adem ayem. Meskipun Bang Ucok (sang pemilik kedai) merevisi sedikit omongan saya, “Itu bukan sungai, cuma got yang agak gedean”. Heuheuheu. . Sayang saya kesana sudah hampir tutup. Katanya sore menjelang malam, bakal lebih asyik buat ngobrol dan juga sesi pemotretan. 🙂
Pertama kali masuk disambut satu-satunya barista perempuan disana yang namanya Lidya. Gak tahu Lidia, Lydya, Lydia, Lidiya atau apa. Cuma kalo dipanggil ya gitu namanya. Jangan tanya saya juga apa bener mbaknya itu punya hubungan sama Lydia Kandou atau Lidya Larasati temenku yang suka K-POP. Saya bener-bener gak tahu.
Pas dateng di meja bar-nya saat itu ada 4 beans. Bali Pupuan, Mandailing, West Java Gunung Tilu sama Kolumbia Abraham. Saya pilih yang paling akhir setelah ngobrol singkat sama Lidya.


Ngobrol sama Lidya, bean yang nangkring disana diroasting hanya sampai medium. Gak sampai medium to dark atau light. Kalo gak salah sih ini karena biar rasanya lebih muncul (gak terlalu rasa mentah banget apalagi ke-pahit-pahitan). Saya agak lupa, dengan ilmu perkopian saya yang dikit banget, ada beberapa bahasa yang ketinggalan di Bandung. haha. . Untuk brewer kit-nya lumayan lengkap ya, kinto, kalita, kono dll. Ada juga Japanese, hampir sama kayak cold breewed pake es, tapi beda proses. (Inilah saya pertama kali ketemu Japanese -mengharukan-).
Untuk biji kopi disini, kebanyakan dipilih yang proses pengolahannya washed. Hampir dipastikan natural series gak banyak masuk. Menurut info baristanya sendiri, katanya kebanyakan kopi natural itu udah fermented -gak semua lo ya- (Bang Ucok menambahkan, ciri-ciri fermented itu hampir keluar rasa Nangka kalo dicicip). Nah, berhubung di kedai ini kadang seorang gak cuma mesen 1 gelas, maka disajikanlah kopi yang menyehatkan. Tapi (mungkin) gak ada salahnya lo ya kalo misal kalian sudah biasa mencicip dengan sajian natural (fermented). Karena tiap kedai, punya rasa dan ceritanya masing-masing. 🙂
Overall kedai kopi ini asyik banget. Buat yang baru nyebur suka minum kopi (bukan sachet), kedai kopi ini enak banget buat cari ilmu. Dari si Empu sampai temen-temennya gak ragu untuk keluarin ilmu dan pengalaman nyruput kopinya. Bang Ucok juga banyak kasih info kedai kopi dan roastery recomended untuk dikunjungi di sekitar Daily Routine dan Jakarta. Termasuk Biji Kopling yang nanti juga akan saya tulis. Terima kasih, very highly recomended place for a cup of coffee.
Selamat nyruput! 🙂
Bandung, 8 Maret 2017
seger tenan
Iya, seger pak. 🙂
Biji kopling sessionnya dong bapak…
Oke ditunggu. 🙂
*berasa tua dipanggil bapak.
kurang lebih 3 bulan lagi ya “bapak”. 😀
Boleh juga kalo itu. Haha. .