Memahami fotografi tingkat terendah adalah memahami teknik. Yang tertinggi adalah memahami “isi”. Memahami fotografi tingkat sedang adalah memahami soal komposisi, angle pemotretan dan moment. Memahami soal teknik dalam fotografi bisa penting bisa tidak. Dengan mode otomatis, soal teknik sebenarnya bisa diabaikan. Memahami soal teknis jadi penting manakala sering memotret dalam kondisi sulit seperti memadukan dua macam pencahayaan.
Memahami “isi” foto adalah memahami makna-makna yang bisa tersirat. Contoh, adanya emosi yang muncul dari sebuah foto kemenangan tim sepakbola. Dalam foto jurnalistik, pemahaman akan “isi” adalah bagian terpenting. Sebuah berita foto bukan semata paparan visual saja.
Memahami komposisi ibarat memahami pengaturan kursi dan lemari dalam kamar. Bisa nyaman, bisa tak nyaman. Komposisi foto yang baik bukanlah harga mati. Baik bagi si A, mungkin buruk bagi si B. Tapi bagaimana-pun, ada komposisi yang baik secara umum. Komposisi yang baik ibarat pengaturan ruang yang baik. Angle atau sudut pemotretan ibarat cara melihat kita. Melihat balapan motor tentu tak nyaman kalau dari sudut rendah bukan? Nyamankah Anda di ruangan itu? Nyamankah Anda memandang fotonya?
Tingkatan pemahaman pada sebuah foto dari tingkat terendah adalah Teknis, Angle, Komposisi, Moment dan Content (isi). Kalau Anda masih meributkan soal otomatis atau manual melulu, Anda masih di tingkat terendah dalam fotografi. Dari 5 tingkatan fotografi, yang bisa oto cuma soal teknis. Tak tercela pakai otomatis karena itu hanya bagian sangat kecil dari proses total.
Yang pasti tak akan pernah ada kamera dengan komposisi otomatis, angle otomatis atau moment otomatis. Andalah yang harus berusaha. Pakai manual atau otomatis cuma beda langkah. Mengukurnya-kan pakai kamera itu juga kan? Manual: ukur – ubah – bidik. Sedangkan kalau Otomatis: bidik. Orang cantik dan yang tidak cantik, cuma beda komposisi mata hidung dan bibir. Beda tipis, tapi bisa beda efek! Begitu pula foto.
Tulisan diatas adalah sedikit kutipan yang saya ambil dari Arbain Rambey. Beliau wartawan senior kompas. Coba deh follow instagramnya, sering upload hasil penyelamatan film foto-foto lama yang sudah di scan. Jadi bisa melihat tokoh tahun 80-90an serta beberapa spot di Jakarta kala itu. @arbainrambey
Karena buat saya pribadi, memotret sejatinya adalah menangkap momen. Di dalamnya terdapat “rasa” serta ruh yang bercerita. Bidikannya bisa berbeda-beda, tetapi pemahaman di dalamnya seringkali tak sama. Tak pernah ada hasil foto bagus atau jelek. Tergantung dari segi mana mereka melihat. Yang dirasa jelek, tidak selalu jelek. Begitu juga yang bagus. Pengaruh lobus-lobus pikiran terkadang berbeda karena berangkat dari sudut pandang yang berbeda.
Tapi yang harus kita sama-sama yakini saat ini adalah bahwa mungkin beberapa puluh tahun kedepan (ketika kembali membuka hasil foto hari ini) kebahagiaan kala itu-kesedihan kala itu-kenangan kala itu-kesusahan kala itu memunculkan kembali senyuman dan keyakinan bahwa usia hanyalah rangkaian cerita-cerita yang diabadikan dalam bingkaian potret kamera. Ia meng-abadi-kan. (@kutudjangkrik)
19 Januari 2017 | Sekitaran Lapangan Banteng, Jakarta.
Ternyata cukup rumit ya mas memahami teknik fotografi ini. Tapi untuk menghasilkan foto yang bagus memang harus ada usaha lebih ya. 😀
Betul. Biasanya sih gitu. Tapi kalo udah biasa pegang kamera, udah tahu logika “triangle photographynya” bakal lebih enak. Kalo udah khatam urusan itu, barulah gear yang jadi pengaruh. hehe. . 🙂