Berbicara mengenai Indonesia dan Malaysia, pasti tidak akan ada habis-habisnya. Masing-masing pihak selalu mempunyai argumen yang berbeda, baik versi maupun isi. Tapi yang pelu dipikirkan adalah, “Masa iya, satu rumpun tetap gak bisa bersatu?, apanya yang salah?”. Jika kita melihat berbagai macam versi, satu-satunya versi yang memang tepat untuk di jadikan jembatan antara keduanya adalah Kebudayaan. Kebudayaan inilah yang menjadi satu buah bibir yang cukup panas jika diperbincangkan jika berkaitan dengan Malaysia dan Indonesia. Benar? 🙂 Lalu apa memang bisa kebudayaan yang memang sangat tabu jika dikaitkan Indonesia dan Malaysia mampu memberikan konsepan sebaliknya mengenai arti “bagaimana” saudara serumpun berjalan beriringan? Mungkin bisa 🙂
Sebuah kebudayaan dapat digolongkan sebagai katalis, atau semacam pembentuk peradaban yang seringkali berhubungan dengan paradigma yang ada pada masyarakat. Keadaan turun menurun yang diwariskan tiap generasi, menjadikan sebuah kebudayaan menjadi pedoman tersendiri yang dirasa mampu membentuk aturan dan petunjuk akan serangkaian tindakan yang digunakan secara selektif di dalam menghadapi kondisi lingkungan yang terwujud nyata pada setiap perilaku maupun tindakan di dalam masyarakat.
Kebudayaan juga ada karena tercipta, bukan hanya diwariskan1. Analogi ini terkadang memang harus di garis bawahi, bahwa banyak muncul klaim-klaim kebudayaan yang ada di suatu negara akibat adanya bangsa pendatang yang tinggal cukup lama. Masyarakat yang menetap lama itu, lalu memperkenalkan kebudayaan yang dibawanya sehingga mempunyai inisiatif untuk mempatenkan sesuai dengan tempat tinggalnya. Hal ini jelas salah, apalagi kebudayaan yang di maksud di atas kurang bisa termaknai secara jelas hanya karena bangsa pendatang yang membawa, lalu dengan mudah mempatenkan kebudayaan tersebut. Sekali lagi ini bukan merupakan kebudayaan. Kebudayaan yang benar adalah kebudayaan yang timbul secara turun menurun, dan tercipta akibat interaksi tersendiri oleh sekelompok orang disuatu daerah, yang menjadikan ciri khas dan bukan dari bangsa yang baru, apalagi tidak menahu asal usul yang dimaksud.
Jika kita memandang kebudayaan dari sisi yang lain, terkadang sebuah kebudayaan pula lah yang mampu dikaitkan sebagai pemicu timbulnya nasionalisme tersendiri pada masyarakat. Masih terdengar dengan jelas masalah yang belum lama ini mencuat kembali di seantero nusantara, yaitu mengenai reborn-nya semangat jaman orde baru presiden Sukarno, ganyang Malaysia. Masih ingatkah? Ya, entah itu siapa dan dimanapun, entah itu mengetahui atau tidak, kiranya hal tersebut benar-benar telah menjadikan masyarakat Indonesia menjadi risih saat terdengar apapun mengenai Malaysia. Entah itu ramainya adu argumen di dunia maya, hingga aksi turun ke jalan melakukan demonstrasi sering terjadi akibat dari kedigdayaan dua kata diatas. Alasannya hanya satu, kebudayaan.
Jika kita mengulik lebih jauh mengenai kebudayaan, terlebih kebudayaan serumpun yang ada di Indonesia dan Malaysia, membuat terkadang masyarakat tidak perlu berpikir panjang menjawab pertanyaan mengenai seberapa mirip kebudayaan antara dua negara tetangga tersebut. Apalagi hal ini terlihat dari beberapa hal yang dapat kita lihat, yaitu secara fisik, bahasa maupun agama. Tapi permasalahannya, justru kedua negara ini mempunyai hubungan yang kurang harmonis.
Masih terngiang dalam benak saya didalam Seminar Internasional di Yogyakarta tahun 2008, yaitu mengenai pertemuan budayawan, maupun praktisi pendidikan, kerjasama antara Universitas Gadjah Mada dengan Universitas Malaysia2 yang mengangkat tema, Indonesia-Malaysia Update 2008 dibicarakan perlu adanya pembentukan paradigma yang lebih luas dari hubungan bilateral Indonesia dengan Malaysia. Hal ini seperti yang di kemukakan oleh Mahyudin Al Mudra-Pemangku Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu yang mengatakan bahwa semakin buruknya masalah relasi antara Indonesia dengan Malaysia dikarenakan akibat paradigma yang sempit dan tertutup dari dua negara mengenai definisi Melayu itu sendiri. Melayu selama ini sering diartikan sebagai identitas budaya yang mengacu pada ras, bahasa, agama dan geografis tertentu. Oleh karena itu, menurutnya perlu adanya semacam redefinisi terhadap konsep Melayu yang lebih inklusif dan akomodatif 3
Jika kita korek lebih dalam, apalagi dengan kebudayaan yang sangat beragam, konsep kebudayaan (Melayu) yang ada pada saat ini, cenderung terkesan lebih ter-politisasi. Masyarakatpun menjadi sangat sensitif, apabila mendengar kata “Indonesia-Malaysia”, meskipun sebelumnya tidak ada sangkut paut mengenai permasalahan yang ada sekarang. Hal inilah yang terkadang membuat “kebudayaan” menjadi katalis tersendiri yang sengaja diberi bumbu khusus untuk menjadikan konflik antar kedua negara.
Bagaimana jika kita berpikir out of the box mengenai hal ini. Sebut saja mengenai kerjasama bidang pendidikan, ekonomi, riset yang nantinya dapat menjadi perintis bagaimana seharusnya kebudayaan Melayu berkembang. Pasti, bukan hanya berpengaruh pada dua negara ini saja, tetapi dampaknya terasa pada ekonomi di Asia Tenggara bahkan Asia yang semakin menancapkan kekuatannya. Oleh karena itu, perlu adanya semacam pemulihan keadaan antara dua negara. Hal ini bukannya mustahil untuk dilakukan asal adanya ketegasan perjanjian antara kedua belah pihak ditambah dengan re-arrange paradigma pola berpikir masyarakat kedua negara yang harus segera diluruskan.
Berbicara mengenai ketegasan perjanjian diantara kedua belah pihak, apalagi dilihat mengenai sengketa Sipadan dan Ligitan pada tahun 2002, kiranya perlu adanya ketegasan dari kesepakatan yang seharusnya tidak ada celah yang menimbulkan masalah dilihat dari penandatanganan perjanjian yang ada. Bagaimana peta perbatasan hingga peraturan mengenai kondisi perbatasan masing-masing negara harus dituliskan secara terperinci dan disaksikan oleh negara-negara tetangga supaya negara lain dapat setidaknya memberikan keterangan jika terdapat masalah yang berkaitan dengan perjanjian kedua belah pihak.
Selain hal diatas, dirasa perlu adanya suatu pemerintahan yang lebih terbuka terhadap berita yang ada pada masyarakat. Misalnya, ketika berita mengenai sengketa sudah menyebar di kalangan masyarakat maupun media sebagai peliputnya, harusnya masing-masing negara lebih cepat mengadakan klarifikasi, agar hal tersebut dapat segera dicarikan titik temu permasalahannya. Kenyataan sekarang, masing-masing negara terkesan kurang cepat mengadakan klarifikasi pada setiap sengketa atau permasalahan yang ada. Terkadang hal inilah yang membuat masyarakat merasa harus turun tangan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Pernah saya baca pada salah satu klarifikasi yang dilakukan oleh duta besar Malaysia untuk Indonesia kala itu, Dato` Zainal Abidin Zain4 pernah mengatakan perbedaan bahasa yang ada pada kedua negara seperti kata kata “asli”, yang dalam bahasa Malaysia bermakna tradisional, berbeda dengan Indonesia bermakna otentik. Begitupula kata “ahli”, dalam bahasa Malaysia berarti anggota, sementara Indonesia bermakna pakar. Sederhana memang, tetapi setidaknya hal ini bisa membuat masyarakat menjadi salah kaprah.
Setelah hal itu tercapai, jelas permasalahan selanjutnya adalah bagaimana mengubah paradigma berpikir yang ada pada masyarakat. Hal ini bukanlah perkara mudah, apalagi masyarakat mempunyai “budaya” berpikir yang berbeda satu sama lain.
Dari hal kecil yang dikemukakan diatas, semoga kriranya mampu meminimalisasi permasalahan “kebudayaan” yang ada antara Indonesia dengan Malaysia saat ini. Sebagai masyarakat yang bijakpun hendaknya senantiasa melakukan kroscek terhadap setiap permasalahan, jangan sampai terpancing oleh berita simpang siur maupun berita media cetak/elektronik yang masih sekedar gosip. Kedewasaan berpikir dan menanggapi masalah yang cenderung belum ada pada masyarakat selalu menjadikan masalah semakin tidak jelas. Begitupun juga dengan media yang harus lebih selektif meliput dan menyiarkan berita kepada khalayak umum. Agar nantinya tidak tersebar angin yang tak tentu arah tujuannya.
Satu ibu, satu kebudayaan, satu visi, satu misi, membentuk kekuatan baru melalui utuhnya kebudayaan! 🙂
Catatan Kaki:
1  Kutipan http://yasiralkaf.wordpress.com/, melalui tulisannya yang berjudul Antara Budaya Indonesia dan Budaya Malaysia.
2 Lebih dikenal dengan Universiti Malaya.
3 dikutip dari melayuonline.com.
4 Duta BesarMalaysia untuk Indonesia pada tahun 2007, klarifikasi dimuat pada antaranews.com pada tahun 2007.
sudah terlalu rumit menurut saya jangankan mau klarifikasi, baru dengar kata “malaysia” saja banyak masyarakat sudah tidak suka.
Nah itu dia, masa sih kita apatis gitu, setidaknya kita bisa sumbangsih buat kerukunan kita. Gak etis juga, apalagi sama-sama negara mayoritas muslim. Gak enak kan dilihatnya? 🙂